Wednesday 12 November 2014

UN, Dari sudut pandang Psikologi

Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik bincang isolapos edisi 55 2014 dengan judul UN, Kekacauan Pendidikan Kita

     Ujian nasional (UN) sampai saat ini masih menjadi isu kontroversial. Pemerintah pun keukeuh melaksanakan UN dengan berbagai alasan. Di sisi lain, sebagian kalangan tetap berjuang menghilangkan UN sebagai penentu kelulusan. Ifa Hanifah Misbach, Dosen Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah salah satu praktisi pendidikan yang getol mengkritisi pelaksanaan UN. Menurutnya, UN melawan kodrat alam, karena setiap anak dilahirkan unik. Berdasarkan survei pengalaman UN periode 2004 sampai 2013 oleh Pusat Psikologi Terapan (P2T) UPI, UN  menimbulkan stres yang berdampak negatif. “Mereka (siswa -red) kesulitan memahami relevansi nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di kelas.” Praktek UN justru  memperlihatkan penyelewengan norma secara masal. Jurnalis Isola Pos,  Noval Prahara Putra berkesempatan mewawancarai Ifa di ruang kerjanya. Berikut kutipan wawancaranya.
***
Pro kontra UN tetap berlangsung, sikap Anda?
Sikap saya tetap menolak UN. Sejak 2003 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu terlalu berat pada UN yang sudah bergeser fungsinya, dari alat pemetaan sebagai alat kelulusan siswa. Walaupun dalam format terakhir bobotnya menjadi 60 persen, namun UN tetap melawan kodrat alam: digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di setiap jenjang pendidikan.
Padahal secara kodrat kecerdasan anak diciptakan beragam dan unik. Lalu kenapa hanya diukur dalam satu cetakan seperti barang pabrik? Artinya sebagai alat pengukuran tunggal, UN tidak akan mampu mengukur kemampuan multidimensi kecerdasan siswa.

Kabarnya Anda melakukan penelitian tentang UN, apa yang Anda temukan?
Dalam survei, pengalaman UN selama 10 tahun yang kami lakukan, terdeteksi 75 persen siswa dari 25 provinsi menyaksikan sekaligus melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Anak-anak kita yang jujur pun dibuat tidak berdaya menyaksikan kecurangan yang sudah masif ini. Mereka tidak tahu harus mengadu kemana ketika lembaga pendidikan yang mengajarkan kejujuran malah melanggengkan kecurangan dengan terbentuknya tim sukses sekolah agar lulus UN 100 persen.

Bisa dijelaskan?
Hasil survei pengalaman UN periode 2004-2013 oleh Pusat Psikologi Terapan (P2T) UPI menunjukkan bahwa UN ternyata tidak dimaknakan para responden sebagai tantangan untuk meningkatkan motivasi belajar. Jenis tekanan distress (jenis stres yang bersifat merusak tubuh) terdeteksi lebih tinggi 60 persen dari eustress (jenis stres yang bersifat baik    karena     meningkatkan
imun tubuh) pada 597 responden yang  terjaring dari 25 provinsi. Selama 6 bulan persiapan dan 3 hari pelaksanaan UN, telah memicu episodic acute distress (jenis stres yang timbul cepat, tajam, menyakitkan, dan berulang, sehingga menghasilkan emosi intens seperti: gelisah, tidak percaya diri, takut, dan cemas). Perasaan cemas sekaligus malu jika tidak lulus UN membuat responden dihantui putus sekolah. Serangan episodic acute distress ini membuat banyak siswa melarikan diri pada ritual keagamaan sampai ritual klenik (datang ke dukun, mandi kembang bersama, pensil ujian dicelup ke air yang sudah dibacakan doa orang pintar) demi untuk lulus. Sebanyak 67 persen responden memilih apatis dan menyatakan UN adalah pengalaman buruk yang mencekam bukan menantang gairah belajar untuk mengembangkan nalar. Dalam wawancara terpisah, 5 responden menyaksikan temannya menjadi korban bunuh diri ketika gagal UN.

Bisa dikatakan praktek  UN  bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran?
Dalam survei, terdeteksi hal yang jauh lebih membahayakan moral di masa depan. 75 persen responden menyatakan pengalaman buruk UN bukan karena takut tidak lulus, tetapi karena mereka memendam stres harus menyaksikan sekaligus terlibat kecurangan yang sistematis. Rasa bersalah pada nurani meninggalkan chronic distress (jenis stres yang bertahan sampai jangka waktu lama, bisa hitungan bulan, bahkan tahunan sebagai bentuk trauma moral yang tak selesai). Mereka kesulitan memahami relevansi nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di kelas tapi keyakinan moral itu runtuh saat mereka menyaksikan sendiri para role model: guru, pengawas, kepala sekolah melakukan kecurangan mengkatrol nilai, membocorkan kunci jawaban dan membiarkan mereka menyontek masal. Pencetus UN yakin bahwa UN dapat meningkatkan harkat bangsa melalui standar nasional. Sebaliknya, responden menyatakan UN adalah sistem evaluasi belajar yang keliru yang membuat mereka marah dijadikan kelinci percobaan.

Alasan Kemendikbud, salah satunya, UN diperlukan agar siswa terpacu untuk belajar?
Apakah sudah ada hasil penelitian dari Kemendikbud bahwa siswa terpacu belajar karena UN semata? Sampai UN sudah berjalan lebih dari 10 tahun pun, pemerintah tidak pernah mampu memberikan hasil penelitian bahwa ada korelasi antara lulus UN dengan prestasi siswa di perguruan tinggi. Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sains, dan membaca). Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut. Mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa? Artinya, UN sebagai parameter pengukuran prestasi siswa saja sudah tidak mampu mengukur jenis-jenis kecerdasan yang tidak ada dalam soal-soal UN. Siswa terpacu belajar kalau tujuannya demi ujian akan menghasilkan siswa yang tidak menghargai proses belajar tetapi akan tumbuh menjadi robot penghafal soal tanpa memahami makna dan esensi apa itu belajar.

Kalau begitu, UN tidak tepat sebagai pemacu belajar siswa?
Tidak tepat. Dalam teori belajar berdasarkan kacamata psikologi perkembangan menyimpulkan bahwa pemicu belajar siswa adalah motivasi internal. Motivasi internal akan muncul jika anak menyukai belajar menantang rasa ingin tahunya dan memiliki panutan yakni guru yang memiliki jiwa belajar sepanjang hayat. Artinya metode mengajar yang menyenangkan dan keahlian guru di dalam menyampaikan ilmu itu menjadi hal yang lebih penting. Dalam penelitian-penelitian neuroscience terbaru pun menyimpulkan otak tidak mampu merespon dengan baik saat syaraf otak berada dalam ketegangan yang mencekam. Sebaliknya, otak akan mampu merespon dengan baik saat berada dalam kondisi relaks dan bahagia. UN sebagai jenis high-stakes testing (tes yang memiliki resiko tinggi) tidak menyediakan ruang kegagalan ketika siswa tidak lulus sehingga membuat siswa berada dalam situasi yang mencekam. Secara kodrat, manusia itu perlu diberikan ruang kegagalan agar mau mencoba lagi. Nah ini yang bisa meningkatkan motivasi belajar siswa dalam jangka panjang.
Berarti sistemnya yang salah?
Ya. Sebetulnya, Keputusan Mah-kamah Agung tahun 2009 sudah menyatakan bahwa penyelenggara pendidikan dalam ini Kemendikbud tidak boleh menyelenggarakan UN sebelum tiga hal itu dipenuhi. Sarana dan prasarana, akses pendidikan yang merata dan kualitas guru. Tapi kemudian kan hal itu tetap dilanggar. Sekarang bagaimana kita akan memberikan soal UN yang sama bobot soalnya antara anak di Papua dengan anak yang di Jawa, sementara sarana dan prasarana anak di Papua itu lebih terbelakang, tidak memiliki akses yang merata tapi kok ujiannnya disamakan dengan anak anak yang di Jawa  yang fasilitasnya jauh berkembang.

Tapi sebagian orang yang mengerti pendidikan juga ada yang menyetujuinya ?
Kita kembalikan pada nurani masing-masing. Pikirlah dengan kepala jernih dan hati bening. Relakah mereka yang merasa mengerti pendidikan membiarkan kekacauan paradigma moral dalam dunia pendidikan?

Saran Anda?
Negara tidak pernah serius menangani kemerosotan moral dan tekanan psikologis sejauh tidak berkorelasi positif pada kriteria standar nasional. Hal ini tampak pada 27 rekomendasi hasil Konvensi UN pada tahun 2013, persoalan multidimensi UN hanya dituangkan ke dalam masalah teknis dan manajemen UN. Alam berpikir pemerintah yang merasa berkuasa mengendalikan kelulusan membuat siswa tidaklah lebih dari sekumpulan objek kategori statistik. Manfaat siswa bagi negara hanya dihitung sejauh prestasi UN berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan pendidikan dengan kelulusan 99 persen. Di luar itu, mimpi, aspirasi, harapan siswa, atau korban mati dianggap tidak relevan. Selama persoalan moral UN tidak pernah dipulihkan, dengan sendirinya sudah menghancurkan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Moraturium UN harus segera dilakukan. Pemerintah terus dominan mendikte sistem kelulusan UN yang dicurigai kalangan melibatkan putaran korupsi uang yang menggiurkan. Berdasarkan keterangan komisi X, DPR RI, anggaran UN tahun 2012 telah menelan Rp 600 Milyar, lebih besar Rp 50 Milyar dibandingkan anggaran tahun 2011..




Wednesday 22 October 2014

TARIAN SAKTI

SEBUAH CERPEN


Tak ada ruang yang bisa dinikmati. Kesunyian pun bisa menyakiti. Setiap gerak di dunia nyata hanya membuatnya  tersalahkan dan disakiti. Diam tak memberi arti, berlari tak mampu menghindari. Mungkin hanya mati yang mampu mengakhiri.

Sakti tak mengerti, di usianya yang delapan tahun ini mengapa ia harus tersakiti. Tak seperti anak anak yang lain bisa hidup bahagia dan disayangi. Sakti tak butuh uang lebih untuk membahagiakan diri. Tak butuh mainan mewah agar hidup tidak sepi . Bukan baju baru yang menjadi mimpi. Sakti hanya ingin menari bebas tanpa di caci maki.
***
Di sekolah sakti lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Mengerjakan pekerjaan rumah atau menulis puisi, ketimbang harus pergi makan di kantin dan mendengarkan caci maki. Bersyukur sakti jika hanya mendapat caci maki, tak jarang setelah itu Ia di seret ke kamar mandi dikencingi dan diludahi. Kemudian ditertawai “mati aja lo banci !!.” Pun saat di dalam kelas sendiri selalu ada bapak guru yang menghampiri, mendekati dan menindih tubuhnya, untuk melampiaskan napsu birahi. Jika sudah digauli Sakti hanya bisa berdiam diri. Menjerit tiada arti, mengadu kepada guru bukan solusi. “Sakti laki-laki harus bisa menjaga diri.” Perih rasa di hati.

Tak ada tempat yang bisa dinikmati. Rumah sendiri bukan surgawi. Ayah dan ibu tiri selalu menyakiti.di marahi tanpa alasan pasti ,dipukuli berkali kali hingga rasanya darah tak mengalir lagi. Direndam di bak mandi sampai kulit pucat pasi, atau dijemur di terik matahari hingga kaki terasa mati. Bukan hal yang perlu dihindari. Semua berulang setiap hari.

Ayah selalu ingin sakti menjadi laki-laki sejati. Dilarangnya sakti menari. Dibakar semua koleksi puisi-puisi. Setiap hari sakti dipaksa berlari. memanjat pohon yang tinggi. Push up berpuluh kali. Lari, lagi dan lagi. Jika tidak berhasil maka sakti akan di cambuki bertubi-tubi hingga tubuh terasa perih  bagai ditusuk jutaan duri.

Ibu tiri selalu menyusahi, menyuruh sakti itu dan ini. Mengepel lantai, mencuci baju,menyiram bunga , menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, menyetrika pakaian, mencabut rumput,membuang sampah semua harus terlihat bersih dan rapi. Jika tidak terlaksana dengan baik, sakti disiksa lagi dan lagi. Perih rasa di hati.

Hanya dengan menari sakti menghibur hati. Dicurinya waktu kosong ketika Ayah dan ibunya pergi. Dengan semangat berapi-api ia langsung menari, hingga lupa dengan sakit dan perih di hati. Dalam gelap sakti terus menari hanya ada ia dan sepi. Semua digerakkan mulai dari kaki, tangan, lengan, telinga, mata hingga pikiran semua menari beriring degup jantung dan aliran darah, Sakti berekspresi tiada henti. Namun tiba tiba ruangan menjadi terang  segerombolan orang datang menghapiri. Ia guru yang sering memaksa sakti melayani napsu birahi, kemudian teman temannya yang sering meludahi dan mencaci-maki kemudian ibu dan ayah yang memukulinya tiada henti. Semua merapat mengepung sakti. Sakti ditampar, tubuhnya ditelanjangi,anusnya ditusuk, rambutnya dijambak, wajahnya diludahi, matanya ditembak, tubuhnya di cambuk, lidahnya dipotong, tangan kakinya disayat, lehernya dipenggal,hati dan pikirannya dicuri.

Sakti tak peduli ia terus menari.
Bandung, 22 Oktober 2014
Untuk mu yang selalu tersakiti 

Sunday 19 October 2014

MEREKA MENYEBUTNYA ANJING

SEBUAH CERPEN

Anjing itu terus mengonggong dengan sopan. Orang-orang mendengarnya dengan penuh perhatian. Seakan sedang mendengar pidato kepresidenan. Semua diam dan pura pura terkesan.

Dia anjing yang pintar, bertubuh sedang dengan kulit berwarna hitam kecoklatanan. Bermajikan seorang bangsawan. Ia hidup tanpa kekurangan. Sejak usia dini ia sudah disekolahkan. Diperkenalkan ia mana kawan dan mana lawan. Bagaimana menjadi anjing bangsawan. Diajarkan ia berdiskusi dan menyampaikan gagasan agar orang-orang menjadi terkesan. Dididik ia bagaimana cara mencuri perhatian agar bisa menjalankan kepentingan. Bersikap sopan kepada orang-orang pilihan agar menjadi bagian.
Saat usianya dua puluh delapan tahun sang majikan meninggal dunia karena keracunan. Dan mewariskan semua harta peninggalan. Untuk sang anjing yang paling disayang.
Sang Anjing kini tumbuh garang dan disegani banyak orang. Namanya sudah mengaung di seluruh kawasan. “Si Anjing pintar yang banyak uang.” Begitu sapaan orang-orang.. Tak jarang ia bersikap dermawan. Memberi uang walau bukan kawan. Namun tetap karena ada kepentingan.
Berteman orang-orang partai pilihan sang Anjing kini pintar perpolitikan. Ia beli semua stasiun pertelevisian agar bisa pencitraan. Di kunjunginya orang yang kesusahan  agar terlihat seperti pahlawan. Mengongong tentang pembrantasan kemiskinan agar mendapat perhatian.

"Gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong"

Begitu gonggongnya di setiap kawasan. Dengan gaya kepahlawanan walau terdengar membosankan namun semua tetap diam dan pura-pura terkesan kemudian bertepuk tangan agar medapat uang imbalan.
Wajahnya kini ada papan iklan,di baliho-baliho sepanjang jalan, di pepohonan,di sekolahan,di perkantoran, di pertokoan, di bangunan, di jembatan, di perkampungan, di perkotaan, di setiap kawasan Wajahnya terpampang dengan senyuman.
Sang Anjing  terus mengonggong tanpa diam. Orang-orang mendengarnya dengan penuh perhatian. seakan sedang mendengar pidato kepresidenan. Semua diam dan pura pura terkesan. Melihat sang anjing memperebutkan kursi anggota dewan.

Bandung 19 Oktober 2014
Terimakasih kepada
Anjing-Anjing pintar
yang telah menginspirasi


Wednesday 8 October 2014

BUKAN

Ini bukan tentang puisi yang berisi tangis

Bukan tentang drama yang berujung cinta

Bukan  prosa yang berbicara rasa

Bukan tentang sajak yang berkisah duka

Ini bukan lagu berlirik pilu

Atau  nyayian yang mengalun merdu

Bukan. Ini bukan cerita kau aku dan dia

Bukan juga mereka

Ini bukan…

Bukan.
                                                 

Bandung 26 september 2014

Saturday 30 August 2014

PADA KONFLIK ITU (part 1)

Tahun 2001. Aceh masi menjalani masa konflik berkepanjangan, peperangan, saling bunuh, dan aniaya terjadi di mana mana. Waktu itu Saya duduk di bangku kelas dua SD. Di umur yang masi delapan tahun, suara tembakan sudah akrab di telinga. Mendengar kabar ada yang mati terkena peluru nyasar sudah biasa. Memang, suasana kampong pada waktu itu sangat mencekam. Kabar kematian dan pembantaian hilir mudik ditelinga. 

Di sekolah kami tidak terlalu lama belajar, masuk jam setengah delapan, pulang jam setengah sepuluh. Guru selalu berpesan agar kami langsung pulang kerumah “ jangan main-main lagi, langsung pulang,” begitu setiap harinya. Waktu itu Saya belum paham apa terjadi. Yang Saya ingat ketika suara tembakan terdengar, kami harus segara tiarap, terlebih ibu, ia begitu siap dan sigap mengajak ku bertiarap di bawah kolong tempat tidur. Kadang Saya tertawa kami seperti dalam permainan perang, Namun tawa ku tertahan ketika pipi ibu ku basah. Suara tembakan bisa hadir kapan saja dan di mana saja, tidak mengenal waktu dan tempat. kadang peluru yang keluar tidak hinggap pada sasaran namun menyarang pada siapa pun yang yang sudah tertakdir. Pernah tembakan terjadi sore hari ketika Saya dan teman-teman bermain di tanah lapang. Suaranya begitu dekat mungkin sekitar seratus meter dari lapangan. Saling berbalas beberapa kali. Ibu-ibu yang tadinya asik mengobrol di bale sontak berlari ketanah lapang menjemput anaknya. Pontang panting mereka berlari beberapa diantaranya memakai sarung hingga tersungkur karena kesulitan berlari. kemudian memasuki rumah masing-masing untuk tiarap.

Malam hari di kampong sepi. Hanya terdengar lantunan Alquran di beberapa rumah. Lagi pula masa itu listrik sering mati kadang sampai seminggu tidak menyala.Hanya meunasah (mushala) dan beberapa tetangga yang kaya yang mempuyai genset. Terkadang ibu-ibu juga sering berkumpul disatu rumah yang mempuyai genset untuk keperluan menonton sinetron.

Setiap malam di kampong kami ada ronda malam, wajib untuk laki- laki yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Ini diadakan untuk menjaga keamanan kampong. Tiap regunya berjumlah sepuluh orang. Dengan 1 ketua regu. Untuk konsumsi para ronda malam disediakan oleh ibu-ibu. Jadwal penyediaan konsumsi juga sudah diatur geuchik (kepala desa). Setiap malamnya ada 2 KK (kepala keluarga) yang menyediakan makanan. 

Kegiatan peronda malam adalah mengelilingi kampong, menjaga jangan sampai ada kerusuhan, penculikan dan sebagainya. Biasanya mereka mengelilingi kampong sekitar jam satu atau dua malam, sambil mengetuk pentungan yang terbuat dari bambu. Setiap ketukan menandakan jam , jika satu kali ketuk menandakan jam satu jika dua maka jam dua dan seterusnya.

Di dekat pos jaga malam terdapat kede kopi, (kadai kopi) di sana biasanya para peronda dan bapak-bapak lainnya bercengkrama, kadang mereka menonton bola sambil bersorak gembira jika timnya menang , atau berteriak mencaci maki jika timnya kalah. Disana juga di sediakan permainan tusot (sejenis permainan biliar) , batu domino , cabang, catur dan kartu. Tak jarang permainan ini dijadikan media berjudi. Untuk bermain kartu atau batu biasanya mereka bermain di belakang kede, berteman gepul asap rokok dan lampu remang-remang, ini sengaja di lakukan agar tidak ketahuan sama tuhapuet, tuhalapan (orang tua kampung) atau tokoh agama di kampong. Larangan berjudi di kampong itu sudah beberapa kali diperbincangkan dalam rapat desa. Geuchik juga sudah sering mengeluarkan peringatan namun, agaknya judi menjadi candu. Peraturan tinggalah peraturan. Pernah suatu ketika, ada seorang ibu marah-marah menghampiri suaminya yang sedang asyik bermain 
kartu. Dengan mengendong anaknya di sebelah kanan dan tangan satunya lagi mengengam kayu, setengah berlari ia mendekati suaminya “ mangat that kah kamaen judi eu, ka jok peng harem keu aneuk tanyo, kayak woe kedeuh !!” (“enak-enakan kamu bermain judi, kamu kasi rezeki haram untuk anak kita ,pulang sana !!) begitu kiranya serapah sang ibu. 

Jika sudah pagi segala alat permainan tersebut di sembunyikan hanya tersisa catur dan cabang, terkadang teman-teman saya ikut memainkannya, dengan perjanjian siapa yang kalah wajahnya akan di lumuri tepung. Atau sekedar bertaruh push up dan skot jam.

Thursday 25 July 2013

TAK PEDULI

Masih saja tak peduli
Mengkekang suara hati
Berjalan tampa arah
Kemudian berlari
Entah apa yang dicari
Mau sampai kapan ?
Subuh hampir usai
Tak kah kau meminta tobat
Masih tak peduli !
                                                                                                                                Jatinagor, 30 November 2012

Monday 1 April 2013

PRAHARA TANAH AIR


“Di Sulawesi selatan ada mahasiswa yang membakar diri saat aksi tolak BBM
Di Jawa Timur ada ibu yang gantung diri setelah membunuh anaknya,
Ada suami yang tega membunuh isri di Jakarta
Sepertinya bunuh - membunuh menjadi hal biasa

Ada  said,bocah  yang rela jadi pemulung untuk bayar SPP
Ada Dewi  yang rela jual Lambungnya untuk kuliah
Rani gadis bandung yang  harus pasrah diDO karena menunggak SPP
Sepertinya pendidikan mahal tak tabu lagi

Banyak korban  Aliran sesat di Aceh yang mati akibat amukan warga
Banyak muslim yang difitnah teroris lantas dibunuh
Saling serang antar agama di poso memakan banyak korban jiwa
Saling serang GAM dan POLRI di Aceh mengores luka
Sepertinya perbedaan menjadi petaka

Di sini
kemiskinan terus meningkat
Penganguran menjamur
Harga pangan  meroket
Pembagunan meninggi
Koruptor melangit

Di negara ini,
Banyak yang kaya
Tapi tak sedikit  yang kelaparan
Ada yang berpendidikan tinggi
Ada juga yang tak kenal pendidikan
Di atas  sana, orang-orang tertawa terbahak
Tapi banyak dibawah yang menagis sesak

Di tanah air ku ini
Semua orang berdemokrasi
Berpendapat dan berkomentar semaunya
Tapi negara ku tak jua menuai solusi.”
                                                                                              Banndung 2013, pada malam geresang
                                                                                                                                                                                                             

Blogger templates