Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik bincang isolapos edisi 55 2014 dengan judul UN, Kekacauan Pendidikan Kita
Ujian nasional (UN) sampai saat
ini masih menjadi isu kontroversial. Pemerintah pun keukeuh melaksanakan UN
dengan berbagai alasan. Di sisi lain, sebagian kalangan tetap berjuang
menghilangkan UN sebagai penentu kelulusan. Ifa Hanifah Misbach, Dosen
Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah salah satu
praktisi pendidikan yang getol mengkritisi pelaksanaan UN. Menurutnya, UN
melawan kodrat alam, karena setiap anak dilahirkan unik. Berdasarkan survei pengalaman UN periode 2004 sampai 2013 oleh Pusat
Psikologi Terapan (P2T) UPI, UN
menimbulkan stres yang berdampak negatif. “Mereka (siswa -red)
kesulitan memahami relevansi nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di
kelas.” Praktek UN justru memperlihatkan
penyelewengan norma secara masal. Jurnalis Isola Pos, Noval Prahara Putra berkesempatan
mewawancarai Ifa di ruang kerjanya. Berikut kutipan wawancaranya.
***
Pro kontra UN tetap berlangsung, sikap Anda?
Sikap saya tetap menolak UN.
Sejak 2003 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu terlalu berat pada UN
yang sudah bergeser fungsinya, dari alat pemetaan sebagai alat kelulusan siswa.
Walaupun dalam format terakhir bobotnya menjadi 60 persen, namun UN tetap
melawan kodrat alam: digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di setiap
jenjang pendidikan.
Padahal secara kodrat kecerdasan
anak diciptakan beragam dan unik. Lalu kenapa hanya diukur dalam satu cetakan
seperti barang pabrik? Artinya sebagai alat pengukuran tunggal, UN tidak akan
mampu mengukur kemampuan multidimensi kecerdasan siswa.
Kabarnya Anda melakukan penelitian tentang UN, apa yang Anda temukan?
Dalam survei, pengalaman UN
selama 10 tahun yang kami lakukan, terdeteksi 75 persen siswa dari 25 provinsi
menyaksikan sekaligus melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN. Anak-anak kita
yang jujur pun dibuat tidak berdaya menyaksikan kecurangan yang sudah masif
ini. Mereka tidak tahu harus mengadu kemana ketika lembaga pendidikan yang
mengajarkan kejujuran malah melanggengkan kecurangan dengan terbentuknya tim
sukses sekolah agar lulus UN 100 persen.
Bisa dijelaskan?
Hasil survei pengalaman UN
periode 2004-2013 oleh Pusat Psikologi Terapan (P2T) UPI menunjukkan bahwa UN
ternyata tidak dimaknakan para responden sebagai tantangan untuk meningkatkan
motivasi belajar. Jenis tekanan distress (jenis stres yang bersifat merusak
tubuh) terdeteksi lebih tinggi 60 persen dari eustress (jenis stres yang
bersifat baik karena meningkatkan
imun tubuh) pada 597 responden
yang terjaring dari 25 provinsi. Selama
6 bulan persiapan dan 3 hari pelaksanaan UN, telah memicu episodic acute
distress (jenis stres yang timbul cepat, tajam, menyakitkan, dan berulang,
sehingga menghasilkan emosi intens seperti: gelisah, tidak percaya diri, takut,
dan cemas). Perasaan cemas sekaligus malu jika tidak lulus UN membuat responden
dihantui putus sekolah. Serangan episodic acute distress ini membuat banyak
siswa melarikan diri pada ritual keagamaan sampai ritual klenik (datang ke
dukun, mandi kembang bersama, pensil ujian dicelup ke air yang sudah dibacakan
doa orang pintar) demi untuk lulus. Sebanyak 67 persen responden memilih apatis
dan menyatakan UN adalah pengalaman buruk yang mencekam bukan menantang gairah
belajar untuk mengembangkan nalar. Dalam wawancara terpisah, 5 responden
menyaksikan temannya menjadi korban bunuh diri ketika gagal UN.
Bisa dikatakan praktek UN
bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran?
Dalam survei, terdeteksi hal yang
jauh lebih membahayakan moral di masa depan. 75 persen responden menyatakan
pengalaman buruk UN bukan karena takut tidak lulus, tetapi karena mereka
memendam stres harus menyaksikan sekaligus terlibat kecurangan yang sistematis.
Rasa bersalah pada nurani meninggalkan chronic distress (jenis stres yang
bertahan sampai jangka waktu lama, bisa hitungan bulan, bahkan tahunan sebagai
bentuk trauma moral yang tak selesai). Mereka kesulitan memahami relevansi
nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di kelas tapi keyakinan moral itu
runtuh saat mereka menyaksikan sendiri para role model: guru, pengawas, kepala
sekolah melakukan kecurangan mengkatrol nilai, membocorkan kunci jawaban dan
membiarkan mereka menyontek masal. Pencetus
UN yakin bahwa UN dapat meningkatkan harkat bangsa melalui standar nasional.
Sebaliknya, responden menyatakan UN adalah sistem evaluasi belajar yang keliru
yang membuat mereka marah dijadikan kelinci percobaan.
Alasan Kemendikbud, salah
satunya, UN diperlukan agar siswa terpacu untuk belajar?
Apakah sudah ada hasil penelitian dari Kemendikbud bahwa siswa terpacu
belajar karena UN semata? Sampai UN sudah berjalan lebih dari 10 tahun pun,
pemerintah tidak pernah mampu memberikan hasil penelitian bahwa ada korelasi
antara lulus UN dengan prestasi siswa di perguruan tinggi. Untuk menilai
efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu
indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei
internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca),
dan PISA (matematika, sains, dan membaca). Indonesia secara periodik
telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang
memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen
tersebut. Mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang
rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa? Artinya, UN sebagai parameter pengukuran prestasi siswa
saja sudah tidak mampu mengukur jenis-jenis kecerdasan yang tidak ada dalam
soal-soal UN. Siswa terpacu belajar kalau tujuannya demi ujian akan
menghasilkan siswa yang tidak menghargai proses belajar tetapi akan tumbuh
menjadi robot penghafal soal tanpa memahami makna dan esensi apa itu belajar.
Kalau begitu, UN tidak tepat
sebagai pemacu belajar siswa?
Tidak tepat. Dalam teori belajar berdasarkan kacamata psikologi
perkembangan menyimpulkan bahwa pemicu belajar siswa adalah motivasi internal.
Motivasi internal akan muncul jika anak menyukai belajar menantang rasa ingin
tahunya dan memiliki panutan yakni guru yang memiliki jiwa belajar sepanjang
hayat. Artinya metode mengajar yang menyenangkan dan keahlian guru di dalam
menyampaikan ilmu itu menjadi hal yang lebih penting. Dalam
penelitian-penelitian neuroscience terbaru pun menyimpulkan otak tidak mampu
merespon dengan baik saat syaraf otak berada dalam ketegangan yang mencekam. Sebaliknya,
otak akan mampu merespon dengan baik saat berada dalam kondisi relaks dan
bahagia. UN sebagai jenis high-stakes testing (tes yang memiliki resiko tinggi)
tidak menyediakan ruang kegagalan ketika siswa tidak lulus sehingga membuat
siswa berada dalam situasi yang mencekam. Secara kodrat, manusia itu perlu
diberikan ruang kegagalan agar mau mencoba lagi. Nah ini yang bisa meningkatkan
motivasi belajar siswa dalam jangka panjang.
Berarti sistemnya yang salah?
Ya. Sebetulnya, Keputusan
Mah-kamah Agung tahun 2009 sudah menyatakan bahwa penyelenggara pendidikan
dalam ini Kemendikbud tidak boleh menyelenggarakan UN sebelum tiga hal itu
dipenuhi. Sarana dan prasarana, akses pendidikan yang merata dan kualitas guru.
Tapi kemudian kan hal itu tetap dilanggar. Sekarang bagaimana kita akan
memberikan soal UN yang sama bobot soalnya antara anak di Papua dengan anak
yang di Jawa, sementara sarana dan prasarana anak di Papua itu lebih terbelakang,
tidak memiliki akses yang merata tapi kok ujiannnya disamakan dengan anak anak
yang di Jawa yang fasilitasnya jauh
berkembang.
Tapi sebagian orang yang mengerti pendidikan juga ada yang
menyetujuinya ?
Kita kembalikan pada nurani
masing-masing. Pikirlah dengan kepala jernih dan hati bening. Relakah mereka
yang merasa mengerti pendidikan membiarkan kekacauan paradigma moral dalam
dunia pendidikan?
Saran Anda?
Negara tidak pernah serius
menangani kemerosotan moral dan tekanan psikologis sejauh tidak berkorelasi
positif pada kriteria standar nasional. Hal ini tampak pada 27 rekomendasi hasil Konvensi UN pada tahun 2013,
persoalan multidimensi UN hanya dituangkan ke dalam masalah teknis dan
manajemen UN. Alam berpikir pemerintah yang merasa berkuasa mengendalikan
kelulusan membuat siswa tidaklah lebih dari sekumpulan objek kategori
statistik. Manfaat siswa bagi negara hanya dihitung sejauh prestasi UN
berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan pendidikan dengan kelulusan 99
persen. Di luar itu, mimpi, aspirasi, harapan siswa, atau korban mati dianggap
tidak relevan. Selama persoalan moral UN tidak pernah dipulihkan, dengan
sendirinya sudah menghancurkan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013.
Moraturium UN harus segera dilakukan. Pemerintah terus dominan mendikte sistem
kelulusan UN yang dicurigai kalangan melibatkan putaran korupsi uang yang
menggiurkan. Berdasarkan keterangan komisi X, DPR RI, anggaran UN tahun 2012
telah menelan Rp 600 Milyar, lebih besar Rp 50 Milyar dibandingkan anggaran
tahun 2011..