SEBUAH CERPEN
Tak ada ruang yang bisa dinikmati. Kesunyian pun bisa menyakiti. Setiap gerak di dunia nyata hanya membuatnya tersalahkan dan disakiti. Diam tak memberi arti, berlari tak mampu menghindari. Mungkin hanya mati yang mampu mengakhiri.
Sakti tak
mengerti, di usianya yang delapan tahun ini mengapa ia harus tersakiti. Tak seperti
anak anak yang lain bisa hidup bahagia dan disayangi. Sakti tak butuh uang
lebih untuk membahagiakan diri. Tak butuh mainan mewah agar hidup tidak sepi .
Bukan baju baru yang menjadi mimpi. Sakti hanya ingin menari bebas tanpa di
caci maki.
***
Di sekolah sakti
lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Mengerjakan pekerjaan rumah atau
menulis puisi, ketimbang harus pergi makan di kantin dan mendengarkan caci maki.
Bersyukur sakti jika hanya mendapat caci maki, tak jarang setelah itu Ia di
seret ke kamar mandi dikencingi dan diludahi. Kemudian ditertawai “mati aja lo banci !!.” Pun saat di dalam kelas
sendiri selalu ada bapak guru yang menghampiri, mendekati dan menindih tubuhnya,
untuk melampiaskan napsu birahi. Jika sudah digauli Sakti hanya bisa berdiam
diri. Menjerit tiada arti, mengadu kepada guru bukan solusi. “Sakti laki-laki
harus bisa menjaga diri.” Perih rasa di hati.
Tak ada tempat
yang bisa dinikmati. Rumah sendiri bukan surgawi. Ayah dan ibu tiri selalu
menyakiti.di marahi tanpa alasan pasti ,dipukuli berkali kali hingga rasanya
darah tak mengalir lagi. Direndam di bak mandi sampai kulit pucat pasi, atau
dijemur di terik matahari hingga kaki terasa mati. Bukan hal yang perlu
dihindari. Semua berulang setiap hari.
Ayah selalu
ingin sakti menjadi laki-laki sejati. Dilarangnya sakti menari. Dibakar semua
koleksi puisi-puisi. Setiap hari sakti dipaksa berlari. memanjat pohon yang
tinggi. Push up berpuluh kali. Lari,
lagi dan lagi. Jika tidak berhasil maka sakti akan di cambuki bertubi-tubi hingga
tubuh terasa perih bagai ditusuk jutaan duri.
Ibu tiri selalu
menyusahi, menyuruh sakti itu dan ini. Mengepel lantai, mencuci baju,menyiram
bunga , menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, menyetrika pakaian, mencabut
rumput,membuang sampah semua harus terlihat bersih dan rapi. Jika tidak terlaksana
dengan baik, sakti disiksa lagi dan lagi. Perih rasa di hati.
Hanya dengan
menari sakti menghibur hati. Dicurinya waktu kosong ketika Ayah dan ibunya
pergi. Dengan semangat berapi-api ia langsung menari, hingga lupa dengan sakit
dan perih di hati. Dalam gelap sakti terus menari hanya ada ia dan sepi. Semua
digerakkan mulai dari kaki, tangan, lengan, telinga, mata hingga pikiran semua
menari beriring degup jantung dan aliran darah, Sakti berekspresi tiada henti. Namun
tiba tiba ruangan menjadi terang segerombolan orang datang menghapiri. Ia guru
yang sering memaksa sakti melayani napsu birahi, kemudian teman temannya yang sering
meludahi dan mencaci-maki kemudian ibu dan ayah yang memukulinya tiada henti. Semua
merapat mengepung sakti. Sakti ditampar, tubuhnya ditelanjangi,anusnya ditusuk,
rambutnya dijambak, wajahnya diludahi, matanya ditembak, tubuhnya di cambuk,
lidahnya dipotong, tangan kakinya disayat, lehernya dipenggal,hati dan
pikirannya dicuri.
Sakti tak peduli
ia terus menari.
Bandung, 22 Oktober 2014
Untuk
mu yang selalu tersakiti