Wednesday 22 October 2014

TARIAN SAKTI

SEBUAH CERPEN


Tak ada ruang yang bisa dinikmati. Kesunyian pun bisa menyakiti. Setiap gerak di dunia nyata hanya membuatnya  tersalahkan dan disakiti. Diam tak memberi arti, berlari tak mampu menghindari. Mungkin hanya mati yang mampu mengakhiri.

Sakti tak mengerti, di usianya yang delapan tahun ini mengapa ia harus tersakiti. Tak seperti anak anak yang lain bisa hidup bahagia dan disayangi. Sakti tak butuh uang lebih untuk membahagiakan diri. Tak butuh mainan mewah agar hidup tidak sepi . Bukan baju baru yang menjadi mimpi. Sakti hanya ingin menari bebas tanpa di caci maki.
***
Di sekolah sakti lebih sering menghabiskan waktu sendiri. Mengerjakan pekerjaan rumah atau menulis puisi, ketimbang harus pergi makan di kantin dan mendengarkan caci maki. Bersyukur sakti jika hanya mendapat caci maki, tak jarang setelah itu Ia di seret ke kamar mandi dikencingi dan diludahi. Kemudian ditertawai “mati aja lo banci !!.” Pun saat di dalam kelas sendiri selalu ada bapak guru yang menghampiri, mendekati dan menindih tubuhnya, untuk melampiaskan napsu birahi. Jika sudah digauli Sakti hanya bisa berdiam diri. Menjerit tiada arti, mengadu kepada guru bukan solusi. “Sakti laki-laki harus bisa menjaga diri.” Perih rasa di hati.

Tak ada tempat yang bisa dinikmati. Rumah sendiri bukan surgawi. Ayah dan ibu tiri selalu menyakiti.di marahi tanpa alasan pasti ,dipukuli berkali kali hingga rasanya darah tak mengalir lagi. Direndam di bak mandi sampai kulit pucat pasi, atau dijemur di terik matahari hingga kaki terasa mati. Bukan hal yang perlu dihindari. Semua berulang setiap hari.

Ayah selalu ingin sakti menjadi laki-laki sejati. Dilarangnya sakti menari. Dibakar semua koleksi puisi-puisi. Setiap hari sakti dipaksa berlari. memanjat pohon yang tinggi. Push up berpuluh kali. Lari, lagi dan lagi. Jika tidak berhasil maka sakti akan di cambuki bertubi-tubi hingga tubuh terasa perih  bagai ditusuk jutaan duri.

Ibu tiri selalu menyusahi, menyuruh sakti itu dan ini. Mengepel lantai, mencuci baju,menyiram bunga , menyapu halaman, membersihkan kamar mandi, menyetrika pakaian, mencabut rumput,membuang sampah semua harus terlihat bersih dan rapi. Jika tidak terlaksana dengan baik, sakti disiksa lagi dan lagi. Perih rasa di hati.

Hanya dengan menari sakti menghibur hati. Dicurinya waktu kosong ketika Ayah dan ibunya pergi. Dengan semangat berapi-api ia langsung menari, hingga lupa dengan sakit dan perih di hati. Dalam gelap sakti terus menari hanya ada ia dan sepi. Semua digerakkan mulai dari kaki, tangan, lengan, telinga, mata hingga pikiran semua menari beriring degup jantung dan aliran darah, Sakti berekspresi tiada henti. Namun tiba tiba ruangan menjadi terang  segerombolan orang datang menghapiri. Ia guru yang sering memaksa sakti melayani napsu birahi, kemudian teman temannya yang sering meludahi dan mencaci-maki kemudian ibu dan ayah yang memukulinya tiada henti. Semua merapat mengepung sakti. Sakti ditampar, tubuhnya ditelanjangi,anusnya ditusuk, rambutnya dijambak, wajahnya diludahi, matanya ditembak, tubuhnya di cambuk, lidahnya dipotong, tangan kakinya disayat, lehernya dipenggal,hati dan pikirannya dicuri.

Sakti tak peduli ia terus menari.
Bandung, 22 Oktober 2014
Untuk mu yang selalu tersakiti 

Sunday 19 October 2014

MEREKA MENYEBUTNYA ANJING

SEBUAH CERPEN

Anjing itu terus mengonggong dengan sopan. Orang-orang mendengarnya dengan penuh perhatian. Seakan sedang mendengar pidato kepresidenan. Semua diam dan pura pura terkesan.

Dia anjing yang pintar, bertubuh sedang dengan kulit berwarna hitam kecoklatanan. Bermajikan seorang bangsawan. Ia hidup tanpa kekurangan. Sejak usia dini ia sudah disekolahkan. Diperkenalkan ia mana kawan dan mana lawan. Bagaimana menjadi anjing bangsawan. Diajarkan ia berdiskusi dan menyampaikan gagasan agar orang-orang menjadi terkesan. Dididik ia bagaimana cara mencuri perhatian agar bisa menjalankan kepentingan. Bersikap sopan kepada orang-orang pilihan agar menjadi bagian.
Saat usianya dua puluh delapan tahun sang majikan meninggal dunia karena keracunan. Dan mewariskan semua harta peninggalan. Untuk sang anjing yang paling disayang.
Sang Anjing kini tumbuh garang dan disegani banyak orang. Namanya sudah mengaung di seluruh kawasan. “Si Anjing pintar yang banyak uang.” Begitu sapaan orang-orang.. Tak jarang ia bersikap dermawan. Memberi uang walau bukan kawan. Namun tetap karena ada kepentingan.
Berteman orang-orang partai pilihan sang Anjing kini pintar perpolitikan. Ia beli semua stasiun pertelevisian agar bisa pencitraan. Di kunjunginya orang yang kesusahan  agar terlihat seperti pahlawan. Mengongong tentang pembrantasan kemiskinan agar mendapat perhatian.

"Gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong gong"

Begitu gonggongnya di setiap kawasan. Dengan gaya kepahlawanan walau terdengar membosankan namun semua tetap diam dan pura-pura terkesan kemudian bertepuk tangan agar medapat uang imbalan.
Wajahnya kini ada papan iklan,di baliho-baliho sepanjang jalan, di pepohonan,di sekolahan,di perkantoran, di pertokoan, di bangunan, di jembatan, di perkampungan, di perkotaan, di setiap kawasan Wajahnya terpampang dengan senyuman.
Sang Anjing  terus mengonggong tanpa diam. Orang-orang mendengarnya dengan penuh perhatian. seakan sedang mendengar pidato kepresidenan. Semua diam dan pura pura terkesan. Melihat sang anjing memperebutkan kursi anggota dewan.

Bandung 19 Oktober 2014
Terimakasih kepada
Anjing-Anjing pintar
yang telah menginspirasi


Wednesday 8 October 2014

BUKAN

Ini bukan tentang puisi yang berisi tangis

Bukan tentang drama yang berujung cinta

Bukan  prosa yang berbicara rasa

Bukan tentang sajak yang berkisah duka

Ini bukan lagu berlirik pilu

Atau  nyayian yang mengalun merdu

Bukan. Ini bukan cerita kau aku dan dia

Bukan juga mereka

Ini bukan…

Bukan.
                                                 

Bandung 26 september 2014

Blogger templates